|
Seperti telah diketahui secara
luas pengembangan teori kepemimpinan selain berdasarkan pendekatan
kontijensi, dapat pula didekati dari teori path-goal yang mempergunakan
kerangka teori motivasi Hal ini merupakan pengembangan yang sehat karena
kepemimpinan disatu pihak sangat dekat berhubungan dengan motivasi kerja, dan
pihak lain berhubungan dengan kekuasaan. Setiap teori yang berusaha
mensintesakan bermacarn-macam konsep kelihatannya merupakan suatu langkah
yang mempunyai arah yang benar.
Usaha pengembangan teori path-goal
ini sebenarnya telah dimulai oleh Georgepoulos dan kawan-kawannya di Institut
Penelitian Sosial Universitas Michigan. Dan istilah path-goal tersebut telah
dipergunakan hampir 25 tahun untuk menganalisa pengaruh kepemimpinan dalam
pelaksanaan kerja.
Dalam pengembangannya yang modern
Martin Evans dan Robert House secara terpisah telah menulis karangan dalam
subyek yang sama. Secara pokok teori path-goal berUsaha untuk menjelaskan
pengaruh perilaku pemimpin terhadap motivasi, kepuasan, dan pelaksanaan
pekerjaan bawahannya.
Teori path goal terdiri dari
beberapa tipe, yaitu :
1) Kepemimpinan Direktif.
Tipe ini sama dengan model
kepemimpinan yang otokratis dari Lippitt dan White. Bawahan tahu senyatanya
apa yang diharapkan darinya dan pengarahan yang khusus diberikan oleh
pemimpin. Dalam model ini tidak ada partisipasi dari bawahan.
2) Kepemimpinan yang
Mendukung (Supportive Leadership).
Kepemimpinan model ini mempunyai
kesediaan untuk menjelaskan sendiri, bersahabat, mudah didekati, dan
mempunyai perhatian kemanusiaan yang murni terhadap para bawahannya.
3) Kepemimpinan Partisipatif.
Gaya kepemimpinan ini, pemimpin
berusaha meminta dan mempergunakan saran¬saran dari para bawahannya. Namun
pengambilan keputusan masih tetap berada padanya.
4) Kepemimpinan yang
Berorientasi pada Prestasi.
Gaya kepemimpinan ini menetapkan
serangkaian tujuan yang menantang para bawahannya untuk berprestasi. Demikian
pula pemimpin memberikan keyakinan kepada mereka bahwa mereka mampu
melaksanakan tugas pekerjaan mencapai tujuan secara baik.
Menurut teori path-goal ini
macam-macam gaya kepemimpinan tersebut dapat terjadi dan dipergunakan
senyatanya oleh pemimpin yang sama dalam situasi yang berbeda.
Perilaku pernimpinan akan bisa
menjadi faktor motivasi (misalnya menaikkan usaha-usaha para bawahan)
terhadap para bawahan, jika:
a. Perilaku tersebut dapat
memuaskan kebutuhan-kebutuhan bawahan sehingga memungkinkan tercapainya
efektivitas dalam pelaksanaan kerja.
b. Perilaku tersebut
merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang berupa memberikan
latihan, dukungan, dan penghargaan yang diperlukan untuk mengefektifkan
pelaksanaan kerja. Dan jika tidak dengan cara demikian maka para bawahan dan
lingkungannya akan rnerasa kekurangan.
Teori – teori
kepemimipinan/Manajer yang menjadi landasan untuk berpijak yaitu seorang
harus berbuat, pada dasarnya adalah berpangkal kepada berdasarkan latar
belakang kebudayan dari orang itulah yang menentukannya LANE (1980 : 62).
Pertanyaan apakah tidak akan lebih
baik daripada mengambil alih secara keseluruhan dari pola perilaku pimpinan
(pemimpin) dari negara lain dengan falsafahnya, yang belum tentu sesuai
(cocok). nilai-nilai budaya kita sendiri yang serasi dengan orang Indonesia
dan dengan lingkungannya.?
Pernah juga dicoba oleh beberapa
peneliti mengemukakan konsep atau gaya kepemimpinan yang kira-kira sesuai
untuk Indonesia, antara lain:
1. Djunaidi Hadi Soemarsono
(1978;7)
Mengatakan bahwa gaya manajemen
yang berlaku di Indonesia dewasa ini lebih cenderung kepada gaya “OTOKRETIK”
dan katanya mungkin gaya seperti ini untuk masa ini sangat cocok di
Indonesia.
2. Koentjaraningrat (1982;Bab
I-VI)
Dalam salah satu bukunya masalah
pembangunan dan mengenai ikhtisar sejarah pendidikan di Indonesia dan
perubahan orientas nilai budaya Indonesia menyatakan bahwa nilai budaya yang
dimiliki oleh Bangsa Indonesia atara lain adalah nilai budaya “GOTONG ROYONG”
dan aspek yang lebih rinci seperti tenggang rasa, kepekaan terhadap orang
lain, ketergantungan kepada lingkungan social dan pemerataan dalam prestasi,
keselarasan dengan alam, adanya kecendrungan orientasi pada masa lampau, dan
adanya orientasi vertikal.
3. A.S Munandar (1981;4)
menggunakan beberapa peneliti,
masing-masing dilakukan oleh Arianti Panchadewa terhadap para penyelia
(supervisor) dan menejer sebuah perusahaan swasta nasional, oleh Inanda Murni
terhadap para manajer media sebuah perusahaan asing, dan oleh A.S Munandar
sendiri terhadap hampir seluruh karyawan sebuah perusahaan (BUMN) Pemerintah
dengan menggunakan kuesioner dari Likert dan ditemui bahwa sistem manajemen
yang dirasakan berlaku pada perusahaan-perusahaan tersebut ialah berada
diantara sistem manajemen Benevolent, Autoritative dan Consultative, sedang
manajemen yang diharapkan oleh para responden ialah sistem manajemen
Consultative ( bukan Partisipatif ). Sedangkan A.S Munandar, menyatakan bahwa
lingkungan yang bercorak Benevolent, Autoritative dan Consultative perlu
dikembangkan menjadi lingkungan yang bercorak Partisipatif..
Istilah manajer mempunyai arti
sebagai seseorang yang berwenang dan bertanggung jawab membuat rencana,
mengatur, memimpin dan mengendalikan pelaksanaan untuk mencapai sasaran
organisasi.
Dalam menyikapi Gaya Kepemimpinan
perlu rasanya dikembangkan pembahasan Koentjaraningrat (1974;44-47) mengenai
mentalitas sebelum revolusi 1945 manusia Indonesia dengan menggunakan
kerangka Kluckhohn adalah sebagai berikut :
1. Nilai budaya mengenai hakekat
dari hidup dan karya manusia :
Mentalitas Petani : Tidak
bisa berspekulasi mengenai hal-hal yang tidak terlintas baginya.
Mentalitas Priyayi (Jawa)
: Lebih menghargai amal dari pada karya dan kurang berorientasi pada
keberhasilan karya itu sendiri atau secara lebih jelas diibaratkan seorang
yang sekolah bukan untuk keterampilan tapi untuk mendapatkan ijazah.
2. Nilai budaya persepsi waktu
Mentalitas Petani : Persepsi
waktu yang terbatas dan lebih ditentukan oleh lingkungan siklus kegiatan
pertanian lebih masa kini.
Mentalitas Priyayi (Jawa)
: orientasi pada masa lampau sehingga mempunyai sentimen agak berlebihan
terhadap segala sesuatu dari zaman dahulu dan upacara-upacara yang tetap
dapat dihidupkan sentimen-sentimen tersebut.
3. Hubungan Manusia dengan alam :
Mentalitas Petani : orang
harus hidup selaras dengan alam, tidak dapat menguasai alam tapi tidak tunduk
pada alam “ini mengenai nasib yang mempengaruhinya”.
Mentalitas Priyayi (Jawa)
: terlau banyak menggantungkan diri kepada nasib, karena menganggap
dirinya sebagai bagian kecil saja dari alam semesta serta sepenuhnya terbawa
oleh pengaruhnya.
4. Nilai budaya mengenai hubungan
manusia dengan sesamanya :
Mentalitas Petani : sama rata
sama rasa hal ini member rasa aman yang besar tapi sekaligus membawa
kewajiban untuk selalu memperhatikan kepentingan sesame dan menimbulkan
kompromi yang besar.
Mentalitas Priyayi (Jawa)
: adat sopan santun yang berorientasi kepada atasan, hal ini menyebabkan
hasrat untuk berdiri sendiri serta disiplin pribadi yang murni (tanpa
pengawasan) menjadi lemah.
Koentjaraningrat mengemukakan lima
macam yang penting :
1. Mentalitas yang meremehkan
mutu sebagai dari akibat dari keadaan yang sangat kurang setelah revolusi
karena yang ada saja sudah kurang.
2. Mentalitas yang suka
menerobos :
ada hubungannya dengan kurang
mementingkan mutu, karena ada kemungkinan menanjak secara vertikal dengan
cepat dalam jenjang sosial setelah revolusi, maka orang tidak lagi sabar
mengikuti garis panjang kemajuan hidup seperti yang dijunjung tinggi oleh
nenek moyang kita.
3. Kecendrungan terlalu
banyak berorientasi pada vertikal
seperti kepada atasan, orang yang
berpangkat tinggi, orang tua, senior, menurut Koentjaraningrat (1974;54-58)
memburuk setelah revolusi. sifat tidak percaya kepada diri sendiri, mental
ini sebabnya banyak dijumpai kegagalan-kegagalan pada post revolusi yaitu
sejak tercapainya kemerdekaan.
4. Sifat tidak berdisiplin
murni
Mental ini sudah terbawa sejak
sebelum revolusi, dimana orang bersikap disiplin karena takut kepada penjajah
Belanda, tampak memburuk karena pengawas pada zaman revolusi berkurang bahkan
boleh dikatakan menghilang.
5. Sifat tidak bertanggung
jawab
Sifat bertanggung jawab zaman
kolonial Belanda ditanamkan dengan pengawasan yang sangat ketat dan diikuti
dengan sangsi yang berat. hingga setelah revolusi dimana pengawasan
berkurang, maka orang cenderung menjadi kurang bertanggung jawab.
Koentjaraningrat juga melihatnya sebagai ada hubungan dengan pola perasaan
yang berdasarkan hilang muka dan unsure merasa tidak menyesal kalau bersalah.
|
sangat bermanfaat!
BalasHapus